Sabtu, 06 September 2008

The Candidate???

Beberapa hari yang lalu, ada acara menarik yang tiba-tiba jadi perhatian aq saat salah pencet tombol remote tv. acaranya dulu pernah liat juga sich, tapi d gitu memperahatikan. o ya, acaranya republlik mimpi 09/14. acara ini berupa 'perkenalan' para calon anggota legislatif, kepala daerah, dan yang ter'penting', kandidat presiden. Saat itu kandidat yang sedang berorasi adalah Rizal malarangeng dan amien raiz. Nach untuk mengenal lebih jauh maka saya tampilkan profil babk2 tersebut dan mungkin kandidat yang lain. Yang pertama yaitu rm09 dengan tagline-nya 'if there is a will there is a way'

Profile ini saya dapatkan dari situs rm09.com

Keluarga

Rizal Mallarangeng lahir pada tanggal 29 Oktober 1964 di Makasar, Sulawesi Selatan. Kedua orangtuanya, baik ayah, Andi Mallarangeng maupun ibunya, Andi Asny, masih tergolong kerabat bangsawan Kerajaan Bone. Bahkan kakek buyutnya dari pihak ibu, La Temu Page Arung Labuaja, adalah seorang Panglima Perang terakhir Kerajaan Bone yang bertahan secara heroik sampai batas akhir, saat menghadapi invasi Belanda.

Rizal kecil yang akrab dengan sapaan Celli sudah harus berpisah dari ayahnya sejak usia 7 tahun. Ayahnya, Andi Mallarangeng, adalah seorang walikota Parepare. Beliau meninggal dunia karena serangan jantung, pada bulan April 1972, hanya beberapa hari sebelum ia meletakkan jabatannya.

Andi Mallarangeng adalah lulusan UGM yang sejak kecil berteman dekat dengan Rahman Tolleng, aktivis terkenal tahun 70an. Bersama Tolleng, dia mendapatkan beasiswa untuk sekolah ke Jawa. Andi Mallarangeng mengambil jurusan ilmu politik di UGM, Yogyakarta, sedangkan Tolleng mengambil jurusan Kimia di ITB, Bandung. Setelah tamat dari UGM, Andi balik ke Sulawesi dan merintis kariernya di lingkungan birokrasi Sulawesi Selatan, hingga kemudian terpilih sebagai walikota Parepare (1969-1972). Sampai kini, masyarakat Parepare mencatatnya sebagai walikota muda paling sukses di kota itu.

Kematiannya meninggalkan duka mendalam bagi istri dan anak-anaknya. Tapi, ia mewariskan kecerdasan, determinasi, dan semangat hidup yang tinggi kepada anak-anaknya. Sepeninggal ayahnya, Rizal bersama kakaknya, Andi Alifian Mallarangeng, dan ketiga adiknya, Zulkarnain, Nina, dan Zulfikar (alm) melanjutkan hidup dalam asuhan ibu dan kakeknya.

Rizal yang berdarah Bugis menemukan jodohya di Yogyakarta. Ia menikahi gadis Jawa temannya semasa kuliah, Dewi Tjakrawati. Dewi adalah putri kedua dari lima bersaudara pasangan Marsekal Madya (Purn) Sugiantoro, dan Retnaning Winastuti. Ayah Dewi adalah seorang penerbang TNI – AU dengan jabatan terakhir adalah Gubernur AKABRI. Pasangan Rizal – Dewi dikaruniai dua orang putra, Guntur Mallarangeng dan Surya Mallarangeng

Pendidikan

Pendidikan yang baik rupanya menjadi perhatian utama kedua orang tua Rizal pada anak-anaknya. Melewati pendidikan kanak-kanak di TK Katolik Pare-Pare, Rizal kecil kemudian melanjutkan ke jenjang berikutnya di SD dan SMP Frater Makasar. Dalam soal pendidikan agama, orang tua Rizal secara khusus mendatangkan guru mengaji dari Bone. Karena itu tak mengherankan kalau baik Rizal maupun kakaknya, Andi Mallarangeng sudah khatam Al-Qur’an pada saat usia mereka belum genap 10 tahun, berbarengan dengan saat disunat.

Selain dihabiskan untuk belajar dan bermain, masa kecil Rizal juga dihabiskan dengan mengikuti les main tenis. Berkat kegigihannya dalam berlatih, dia berhasil menjadi juara tenis junior pada tingkat provinsi Sulawesi Selatan. Pertama kali juara pada tahun 1977, ketika ia berusia 13 tahun. Prestasinya dalam bidang tenis ini kemudian membawanya ke Jakarta. Inilah yang menjelaskan kenapa ia bersekolah di SMA Ragunan. Sebagai juara nasional yang dipersiapkan untuk bertanding di tingkat dunia, Rizal bergabung dengan olahragawan lain di pusat pelatihan Ragunan. Di asrama Ragunan, dia tinggal sekamar dengan Suharyadi, yang kemudian menjadi suami petenis nasional Yayuk Basuki.

Prestasi tertinggi Rizal dalam bidang tenis adalah juara kedua tingkat Junior Asean, pada tahun 1981 di Thailand. Dia tak menyangka bahwa dia akhirnya harus mengakui keunggulan teman sekamarnya, Suharyadi.

Setelah tamat SMA, Rizal melanjutkan studinya di Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Dia masih terus berlatih tenis, tapi darah politik yang diwariskan ayahnya tampak lebih mendominasi. Dia mengambil Jurusan Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Di lingkungan aktifis mahasiswa Yogyakarta, Rizal dikenal sebagai mahasiswa yang menonjol. Meski dia lebih intens dalam kegiatan kelompok study, tapi dalam suasana represif Orde Baru saat itu, tak jarang juga ikut ’turun ke jalan’ memimpin demonstrasi mahasiswa.

Salah satu bentuk komitment nyata Rizal pada kemanusiaan diwujudkannya dengan bergabung dalam misi perdamaian yang dikenal dengan sebutan human shields pada tahun 1991. Saat itu Rizal berangkat bersama sahabatnya dari UGM, Taufik Rahzen dan wartawan Kompas, Satrio Arismunandar ke perbatasan Iraq-Jordania guna mencegah terjadinya Perang Teluk I.

Rizal berhasil lulus dari FISIP-UGM dengan nilai yang sangat memuaskan. Prestasinya di UGM mengantarkannya meraih beasiswa Fulbright untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri. Dia memilih Ohio State University (OSU), salah satu universitas terbaik di AS dalam bidang comparative politics. Di universitas ini ada Profesor William Liddle, ahli Indonesia ternama, yang kemudian menjadi pembimbing dan sekaligus mentornya.

Karier

Selepas menyesaikan pendidikan sarjananya, Rizal mengawali kariernya sebagai asisten dosen di Jurusan Komunikasi FISIP UGM. Sambil mengajar di almamaternya, Rizal juga menjadi redaktur di Harian Berita Nasional (Bernas), Yogyakarta.

Sebelum akhirnya menyelesaikan program doktoralnya di Ohio State University (OSU), Rizal juga sempat menjadi asisten dosen di kampus ini. Setelah lulus, ia menjadi dosen tetap di jurusan ilmu politik OSU, sebuah prestasi yang jarang didapatkan oleh mahasiswa asing di universitas itu.

Rizal mengajar di OSU selama dua tahun. Karena merasa jenuh dan ingin mendapatkan tantangan baru, dia meninggalkan posisinya yang sangat nyaman itu. Dia kembali ke Indonesia, berjudi dengan keadaan yang tak pasti. Dia memulai kariernya di Indonesia sebagai peneliti di CSIS. Tapi Rizal tak lama di sana, karena tantangan yang lebih besar kemudian datang kepadanya. Dia ditawari memimpin sebuah lembaga think tank, yang mirip dengan CSIS. Lalu, berdirilah Freedom Institute pada 2001, di mana dia menjadi Direktur Eksekutifnya, sampai sekarang.

Freedom Institute adalah basis di mana Rizal kemudian secara lebih leluasa dapat mengekspresikan ide, mengeksplorasi gagasan, dan menerapkan pemikirannya. Di lembaga inilah Rizal memerankan dirinya bukan hanya sebagai intelektual, tapi sebagai seorang ahli politik yang berusaha menerapkan ilmunya. Pada 2001, Rizal menjadi penasihat sekaligus penulis pidato Megawati. Ketika pemerintahan berganti, Rizal menjadi tim ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan kemudian tim khusus Menko Kesra, sambil terus menjaga hubungan baik dengan Megawati.

Kepiawaian Rizal dalam berunding tak diragukan lagi. Dia pernah memimpin organisasi dan menjalankan tugas yang rumit. Di bawah kementrian Menko Kesra, dia pernah memimpin proyek sosial dengan skala besar dan perundingan rumit menyangkut nama baik negara. Proses perdamaian di Poso, jaringan pesantren di Ponorogo, dan penanggulangan kelaparan di Yahukimo adalah beberapa contoh keberhasilan Rizal. Perundingan Blok Cepu dan konferensi Perubahan Iklim di Bali adalah contoh keberhasilannya yang lain dalam menjalankan negosiasi tingkat internasional.


Tidak ada komentar: